Thursday, August 15, 2013

Part Three: Wonosobo




Dari Semarang, saya melanjutkan perjalanan ke arah barat daya, yaitu Wonosobo. Sebenarnya perjalanan ini bisa dibilang unplanned trip karena baru diputuskan saat saya berada di Semarang (hasil bujukan salah seorang teman). Saya dan 3 orang teman lainnya memutuskan untuk mengendarai sepeda motor menuju Wonosobo, dan tujuan akhir kami adalah Dataran Tinggi Dieng. Saya duduk dibonceng bersama dengan teman dari Magelang, Akbar. Ia bertugas sebagai pemegang kendali. Dua orang teman lainnya berangkat dari Solo dan kami telah sepakat untuk memilih Temanggung sebagai meeting point.

Wonosobo is a very cool place (literally). Terletak di dataran tinggi, kota ini terasa seperti Bandung, namun tetap khas dengan penduduknya yang hangat dan ramah. Sesampainya kami di Alun-Alun Wonosobo, kami berempat memutuskan untuk mengisi perut dengan makanan khas daerah sini, yaitu mie ongklok. Ada sensasi tersendiri yang saya rasakan saat menikmati mie ini. Ini dikarenakan bahan-bahan yang dicampur dalam mie ini cukup berbeda dari mie yang biasa saya makan. Mie ini diberi kuah yang terbuat dari kanji kental (berbeda dengan mie banyumas dengan kuah rebusan air bawangnya). Dan yang paling membedakan mie ongklok dengan mie lainnya adalah penggunaan potongan daun kol dan daun kucai. I have to tell you this kind of food has a great taste. Biasanya, seporsi mie ongklok ditemani dengan sate sapi sebagai pelengkap.


Mie Ongklok



Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. Kurang dari satu jam, kami sampai di Dataran Tinggi Dieng. Karena pada saat itu sedang turun hujan, kami langsung mencari homestay untuk menginap. Di daerah Dieng, cukup banyak homestay atau rumah warga setempat yang bisa dijadikan tempat menginap. Kebanyakan traveller yang mengunjungi Dieng memilih untuk menginap satu malam. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan sunrise cantik di puncak Bukit Sikunir. Di sekitar kaki Bukit Sikunir sendiri banyak penginapan yang disediakan, jadi Anda tidak perlu khawatir untuk mencari tempat untuk menginap. Sebagai alternatif lain, Anda bisa membawa tenda ke atas puncak Bukit Sikunir dan camping disana. Dibutuhkan kurang lebih 20 menit untuk sampai ke puncak. Jalur pendakian cukup mudah karena terlihat jelas sehingga kita cukup mengikuti jalur tersebut untuk sampai di puncak. Di jalur pendakian Anda akan melihat hamparan bukit dan sawah warga. Udara disini masih terasa sangat segar dan bagi Anda pecinta trekking, this is the real deal. Jangan lupa untuk menggunakan jaket tebal dan sarung tangan, karena pada musim kemarau dingin di Dataran Tinggi Dieng bisa terasa menusuk tulang.


A Beautiful Sunrise lvl: Sikunir

 
A view from the peak of Sikunir


Travel Note: Anda bisa membeli camilan khas Dieng, carica, sebagai buah tangan. Carica adalah buah sejenis pepaya yang hanya ditemukan di dataran tinggi Dieng. Kini, banyak warga asli lokal yang memulai usaha carica untuk dijadikan sebagai makanan olahan seperti manisan, selai, ataupun keripik. Biasanya penjual sudah menyediakan paket-paket sehingga memudahkan pengunjung yang ingin membawa carica sebagai oleh-oleh. Feel free to bargain.

Wednesday, May 29, 2013

Part Two: Semarang



Semarang, yang merupakan ibu kota dari Jawa Tengah, membuat saya bertanya-tanya ”mau kemana kalau nanti sudah sampai di Semarang?”. Itu karena bayangan saya atas kota ini hanyalah sebatas makanan khasnya seperti bandeng presto dan lumpia. Teringat mempunyai teman yang berada di Kota Semarang, saya langsung menghubunginya. Namanya Prima, mahasiswa tingkat akhir Universitas Diponegoro jurusan Teknik Perkapalan. Saya bermaksud untuk meminta bantuannya mengajak saya berkeliling di kota dengan populasi terbesar ke-9 di Indonesia itu (peringkat pertama ditempati Jakarta). Ternyata saya datang di waktu yang kurang tepat karena Prima saat itu sedang berusaha menyelesaikan Tugas Akhirnya. Namun, dengan baik hati ia menerima permintaan saya untuk mengantar saya berkeliling di Semarang. Bahkan, ia menawarkan kamarnya untuk saya tempati selama berada di Semarang. Betapa beruntungnya saya. Prima baru saja memutuskan berhenti untuk mengontrak sebuah rumah dan lebih memilih indekos. Kamar yang ditinggalinya sekarang tergolong relatif kecil untuk ukuran kamar mahasiwa pada umumnya. Di bagian sudut kamar, terlihat tumpukan kertas yang digunakannya untuk menggambar rancangan kapal. Jendela kamarnya dibiarkan sedikit terbuka karena menurut Prima di siang hari Semarang terasa begitu panas menyengat. Sesampainya saya di kamarnya, hari telah berganti gelap dan saya pun langsung meminta izin kepadanya untuk membaringkan badan ini yang masih terasa bergoyang setelah berada di kapal laut selama kurang lebih 6 jam.
 
Sejuknya pagi hari di kota ini, diikuti dengan embun yang turun, membuat saya berat untuk beranjak dari posisi tidur saya. Tetapi mengingat waktu saya selama disini tidak banyak, saya memutuskan untuk bangkit dari tempat saya berbaring dan bersiap-siap untuk berkeliling kota Semarang, yang tentunya ditemani oleh Prima. Saya mengajaknya untuk pergi mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang terkenal dengan kemegahannya itu. Mengingat hari itu hari Jumat, kami sekaligus melaksanakan ibadah shalat Jumat. Menurut Prima, orang Semarang biasa membagi Semarang menjadi dua bagian, yaitu daerah atas dan daerah bawah. Daerah atas mencakup Kecamatan Banyumanik tempat dimana Prima tinggal. Sementara, MAJT terletak di Kecamatan Gayamsari yang berada di daerah bawah. Perjalanan menuju MAJT melewati jalan yang menanjak dan turunan tajam. Sesekali motor Prima dipaksa untuk menanjak jalan, saya yang duduk dibelakangnya pun bertanya kepadanya “Tidak apa-apa, Prim?” Dia pun menjawab dengan santai “Tidak apa-apa, San. Sudah biasa.” Golongan mahasiswa seperti Prima yang kuliah di "atas" memang sudah biasa melakukan perjalanan seperti ini. Untuk menonton film di bioskop saja, ia harus “turun ke bawah” terlebih dahulu. Menurut penuturannya, hanya ada tiga tempat pemutaran film di bioskop Semarang, yang paling terkenal dan terbaru ialah XXI di Paragon Mall. Sebenarnya ada juga beberapa universitas yang berada di daerah bawah, seperti Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dan Universitas Diponegoro (UNDIP) Pasca Sarjana. Berangkat pukul 10.30, kami pun akhirnya tiba di MAJT pukul 11.10. Saya mengamati di daerah bawah lebih ramai orang yang berlalu-lalang di jalan. Kendaran bermotor pun memiliki kuantitas yang lebih banyak dibandingkan di daerah atas. Sambil menunggu waktu adzan shalat Jumat, saya pun menyempatkan untuk mengambil beberapa foto dari Masjid yang diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tangal 14 November 2006 silam ini.




Masjid Agung Jawa Tengah






Pilar



Selesai menunaikan kewajiban shalat Jumat, kami pun bergegas pergi mencari makan untuk santap siang. Saya berniat untuk mencicipi lunpia sebagai menu makan siang, namun Prima mengusulkan agar kami memakan nasi terlebih dahulu. Ada beberapa lunpia yang terkenal di kota Semarang, diantaranya Lunpia Express, Lunpia Mataram, dan Lunpia Mbak Lien. Saya memutuskan untuk mencoba yang terakhir. Terletak di Jl. Pemuda Grajen, Lunpia Mbak Lien hanya terdiri dari warung kecil dan gerobak tempat menggoreng lunpia. Anda dapat menjadikan Mall Sri Ratu sebagai patokan; lunpia Mbak Lien tidak jauh berada di seberangnya. Pembeli pun bisa memilih lunpia yang dipesannya, basah atau kering (digoreng terlebih dahulu). Pembeli yang ingin membawa lunpia sebagai oleh-oleh biasanya lebih memilih lunpia basah yang bisa digoreng pada saat tiba di rumah. Lunpia Mbak Lien ini memiliki cabang di Jl. Pandanaran (pusat oleh-oleh), tepatnya di depan Bandeng Juwana No. 57. Lunpia Mbak Lien ini dijual dengan harga Rp 10.000,- perbuahnya.




Lunpia Mbak Lien



Puas dengan Lunpia Mbak Lien, kami pun kembali turun ke jalan untuk menikmati senja di Kota Semarang. Namun, cuaca pda saat itu seakan tidak mendukung saya dan Prima untuk melanjutkan perjalanan. Hujan rintik-rintik mulai jatuh membasahi jalan dan kami pun terpaksa mencari tempat berteduh. Setelah menunggu sampai hujan agak reda, kami pun meneruskan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah the mystical one, Lawang Sewu. Saya dan Prima memang sengaja untuk mengunjungi tempat ini di malam hari agar kesan seram dapat terasa saat mengelilingi Lawang Sewu. Kami pun berhasil untuk menambah personil kami menjadi empat orang, teman saya Agy dan Giovanni berhasil saya bujuk untuk ikut dengan kami. Sebelum berangkat menuju Lawang Sewu, kami berempat menyempatkan untuk makan malam terlebih dahulu di sebuah restoran cepat saji bernama Olive Fried Chicken. Saya memesan paket ayam dengan minum teh manis dengan total Rp 9.000,-. Di tempat makan ini pula saya bertemu dengan teman saya, Rizky. Secara kebetulan ia juga sedang berlibur di Semarang selepas wisuda. Betapa kecilnya dunia ini, baru seminggu yang lalu saya bertemu dengannya yang sedang jogging di alun-alun Kota Tangerang dan pada kesempatan berikutnya kami bertemu lagi di Semarang, di sebuah restoran cepat saji bernama Olive Fried Chicken. Setelah selesai makan malam yang dibumbui nostalgia (dulunya kami berempat duduk di SMA yang sama), kami pun larut dalam obrolan tentang kenakalan semasa sekolah dulu. Saya dan mereka bertiga memang berteman cukup baik pada saat itu. Agy dan prima adalah teman saya bermain futsal. Sedangkan saya dan Giovanni sempat berbagi meja ketika kami berada di kelas XII. Puas bercerita, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Lawang Sewu. Naas bagi kami, baru saja mencapai setengah perjalanan, hujan kembali turun. Mau tidak mau kami terpaksa mengentikan perjalanan dan berteduh di toko swalayan terdekat. Agak lama kami menunggu disana (waktu menunjukkan pukul 22.00), hujan pun berkurang intensitasnya (belum berhenti benar sebenarnya). Tetapi kami memilih untuk meneruskan perjalan karena khawatir Lawang Sewu akan ditutup. Benar saja, sesampainya disana, gerbang depan telah ditutup. Kami pun berdiskusi untuk menentukan langkah apa yang akan diambil selanjutnya. Disela-sela diskusi tersebut, tiba-tiba seseorang mengampiri kami dan bertanya “mau ke Lawang Sewu ya, mas?”. Belakangan kami ketahui bahwa orang tersebut ialah penjaga di Lawang Sewu bernama Pak Edi. Kebetulan Pak Edi mendapat tugas jaga malam dan tugasnya baru berakhir jam 6 pagi. Saya bercerita kepadanya bahwa maksud kedatangan kami adalah untuk mengunjungi Lawang Sewu, namun di tengah perjalanan menuju kesini hujan kencang turun. Pak Edi pun mengerti dan akhirnya bersedia untuk menemani kami berkeliling Lawang Sewu. Sebelumnya, kami harus membayar tiket masuk sebesar Rp. 10.000,- untuk masing-masing orang ditambah biaya untuk Pak Edi sebagai pemandu kami sebesar Rp 30.000,-. Setelah masalah biaya selesai, Pak Edi pun langsung mengajak kami untuk berkeliling diiringi dengan kisah-kisahnya tentang Lawang Sewu di zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Let's rock and roll.



Berfoto di Lawang Sewu 


Monday, May 27, 2013

Part One: Jepara





Merupakan salah satu kabupaten dari total 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, hal yang pertama kali muncul dalam benak saya adalah tersebarnya berbagai macam seni ukiran dan pahat di seluruh kota ini, mengingat seni ukuran adalah produk unggulan dari kota ini. Yang saya lihat tidak jauh berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelum tiba di kota ini, hanya saja seni ukiran tersebut dipajang secara rapi di rumah-rumah warga yang mengusung industri rumahan. Rapi dan tenang adalah kesan yang pertama saya dapatkan dari kota ini. Beberapa industri rumahan tersusun rapi di sepanjang jalan Kudus-Jepara. Ibukota Kabupaten Jepara ialah Jepara dan tidak banyak angkutan umum yang beroperasi di kota ini. Selain itu, yang saya ketahui dari kota ini ialah kota lahirnya pejuang emansipasi wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Itu sebabnya kota ini sering disebut sebagai Bumi Kartini. Nama R.A. Kartini juga diabadikan sebagai nama pelabuhan di Jepara.

Berangkat dari Bandung, saya menuju Jepara dengan menggunakan bus malam. Tarifnya cukup murah dan busnya pun nyaman. Anda hanya perlu menghabiskan Rp 89.000,- saja untuk bus ini dan Anda akan diturunkan di Terminal Jepara sebagai pemberhentian terakhir. Anda pun bisa memesan tiket bus ini secara online disini. Sesampainya saya di Terminal Jepara, waktu menunjukkan pukul 06.30, saya bergegas menuju toilet umum terdekat untuk membersihkan muka dan badan. Setelah itu saya berkeliling di areal terminal untuk mencari sarapan. Pilihan jatuh ke lontong opor Bu Choiriah. Terletak di belakang terminal yang berbatasan dengan pasar, warung Bu Choiriah cukup ramai dipadati oleh pembeli yang antre di depan warung tersebut. Alhasil, butuh waktu sedikit lama bagi saya menunggu pesanan saya diantarkan. Setelah badan bersih dan perut sudah diisi, inilah waktu yang tepat untuk berbaring dan memejamkan mata di kota yang juga dikenal sebagai The Beauty of Java ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi saya. Ya, saya harus menunggu kelima teman saya yang lainnya terlebih dahulu. Dikarenakan berasal dari starting point yang berbeda-beda, saya dan teman sepakat untuk menjadikan Jepara sebagai meeting point sebelum menyeberang ke kepulauan Karimunjawa. Mereka berasal dari Magelang, Boyolali dan Jakarta dan saya sendiri dari Bandung. Saya memperkirakan mereka baru akan sampai di Terminal Jepara paling lambat jam 2 siang.



 Bus malam Bandung-Jepara
 

Kadung tiba di Jepara, saya memutuskan untuk berkeliling sambil menunggu teman saya yang sedang dalam perjalanan menuju Jepara. Untungnya saya telah menyiapkan situasi ini dengan cara mencari tempat-tempat wisata yang berada di Jepara sewaktu perjalanan malam hari di bus. Setelah menunggu beberapa saat, datanglah angkutan umum yang akan mengantar saya ke Mantingan, destinasi yang saya putuskan untuk dikunjungi. Di Mantingan inilah tempat dimana Makam Kalinyamat berada. Kalinyamat adalah seorang ratu dengan nama asli Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono yang merupakan Raja Demak (1521-1546). Perjalanan menuju Makam membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Saya pikir bisa lebih cepat daripada itu andaikata pengemudi angkutan umum K03 berwarna cokelat tersebut tidak berhenti di setiap gang jalan untuk mengangkut penumpang. Tetapi saya berusaha untuk menikmati waktu ketika berada di dalam angkutan umum tersebut. Untung saja saya dapat duduk di samping sang supir sehingga saya bisa berbincang-bincang dengannya. Berdasarkan penuturannya, beliau pernah bekerja di rumah pemotongan hewan di daerah Pondok Bambu selama 2 tahun sebelum pindah ke Jepara. Dari beliau pula, saya mengetahui masakan khas Jepara yang katanya terkenal sampai ke mancanegara. Masakan tersebut ialah Pindang Serani.
 
Setibanya di Makam Kalinyamat, saya langsung mencari loket yang menjual tiket masuk. Usaha saya tidak membuahkan hasil. Baru saya tahu ternyata untuk masuk ke dalam Makam tidak perlu membeli tiket masuk. Saya melihat banyak peziarah yang membawa anak dan sanak saudaranya untuk mengunjungi Makam Kalinyamat. Bahkan ada diantara mereka yang berasal dari luar Jepara yang rela datang ke Makam tersebut, seperti dari Demak, Kudus, dan Solo. Kebanyakan dari mereka datang untuk berdoa agar anaknya (yang turut serta dibawa) diberi kesehatan dan kecerdasan, tidak sedikit juga yang meminta agar dimudahkan rezekinya.



Tangga menuju Makam Kalinyamat


Selain Makam Kalinyamat, di kompleks pemakaman ini terdapat juga Makam R. Abdul Djalil. Beliau merupakan Sunan Jepara sekaligus seorang sufi penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Disebut-sebut memiliki nama lain Syekh Siti Jenar, ajarannya yang paling terkenal adalah Manunggaling Kawula Gusti yang memilik arti Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Makam Syekh Siti Jenar terletak sebelah kiri Makam Ratu Kalinyamat. Di bagian kanan areal pemakaman terdapat pula Masjid Astana Sultan Hadlirin atau dikenal juga dengan Masjid Mantingan.



Masjid Mantingan


Tak terasa waktu berjalan, matahari pun memancarkan sinar terangnnya dan sengatan panasnya terasa sampai ke dalam kepala saya. Saya pun mencari tempat teduh di sekitar makam dan mengeluarkan botol air minum untuk meneguk beberapa tetes air. Sembari berteduh, saya bertanya-tanya dalam hati mengapa peziarah-peziarah tersebut rela datang dari luar Jepara hanya untuk berdoa di makam ini? Apakah mereka tidak dapat melakukannya di rumah masing-masing? Atau apakah mereka mempunyai keyakinan bahwa doa mereka akan cepat dikabulkan apabila dilakukan di tempat ini? Sambil menahan kantuk, pertanyaan itu terus berputar di kepala saya seperti komedi putar di sebuah wahana bermain anak.



Peziarah


Sesaat berselang, saya mendapat kabar dari teman saya bahwa mereka telah sampai di Jepara. Lega mendapat kabar tersebut, saya bergegas meninggalkan makam Kalinyamat dan kembali ke Terminal Jepara dimana teman saya telah menunggu. Saya kembali dengan angkutan umum dan kecepatan yang sama, pengemudi yang berbeda.

Four of a kind



Prologue


Perjalanan ini berawal ketika saya dan keluarga memutuskan untuk mengunjungi Kota Bandung untuk menemui kakak saya. Masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Bandung, dia menjadi main concern bagi orang tua saya yang resah menunggu kapan studinya selesai (mungkin ini dialami orang tua lain yang anaknya berada di kota yang berbeda dengan kota dimana sang orang tua tinggal dan sedang bejuang untuk meraih gelar sarjananya). Maka berangkatlah saya dan keluarga menuju Bandung pada hari kamis. Kami sudah merencanakan berangkat sepagi mungkin untuk menghindari kemacetan ibukota. Maklum kemacetan sudah tidak mengenal hari jam dan menit, ia seakan tidak pandang bulu menerjang pengendara kendaraan bermotor yang melintasi jalan-jalan (besar maupun kecil di ibukota.). Akhirnya setelah benar-benar siap, kami meninggalkan rumah tepat pada pukul 07.00. Diluar dugaan, pada hari itu saya tidak menemukan kemacetan berarti mengingat hari itu bertepatan dengan Kenaikan Isa Almasih sehingga saya dan orang tua dapat melenggang dengan mulus di jalan tol Jakarta-Bandung, memakan waktu perjalanan kurang lebih dua setengah jam.

Sesuai judul, saya melakukan perjalanan untuk mengunjungi empat kota (ditambah satu kepulauan), semuanya berada di Provinsi Jawa Tengah. Perjalanan itu saya lakukan secara estafet dan dalam waktu yang relatif singkat (4 kota dalam 10 hari). Meskipun keempatnya berada di provinsi yang sama, saya merasakan suasana yang berbeda untuk masing-masing kota. Untuk mempermudah pembagian waktu, maka saya akan membagi penulisan perjalanan ini menjadi beberapa part.