Sunday, March 4, 2018

Ladakhi road trip (2) : Leh, We're coming!


Meninggalkan Alchi setelah sarapan roti selai apricot (salah satu sarapan terbaik yang pernah saya coba!) di rumah Sonam, kami pun bergegas naik mobil untuk melanjutkan perjalanan. Posisi tempat duduk sedikit berubah. Yang tadinya duduk di depan, saya jadi pindah ke belakang dengan Akbar. Penumpang tambahan ialah anak laki-laki dari teman Shabir yang ingin mengunjungi Leh juga. Shabir masih pegang kemudi. Di jalan kami tidak banyak mengobrol, lebih banyak melihat pemandangan di luar mobil. Rentetan pegunungan Himalaya tidak pernah membuat kami bosan justru sebaliknya semakin menambah rasa penasaran kami untuk segera tiba di Leh. Tidak terasa kami sudah bersama Shabir selama 3 hari 2 malam. Mulai dari Srinagar sampai hari ini jadi kalian tau lah mengapa kami kehabisan obrolan. Terlepas dari itu Shabir tetap teman yang baik dan kami selalu punya jokes untuk menertawakan hal-hal kecil yang cenderung tidak perlu.



Roti selai apricot. Maknyuss


Leaving Alchi



Biar saya ceritakan sedikit tentang teman saya Shabir. Ia tinggal di Srinagar dan bekerja sebagai guide. Asli Srinagar. Selain itu, ia memiliki rumah makan bernama rock view restaurant yang letaknya  tidak jauh dari Dal Lake. Dari Shabir pula kami mendapatkan referensi house boat (literally rumah kapal) tempat kami menginap. Cheerful Charley namanya. Kebetulan pemiliknya ayah mertua Shabir sendiri, Aslam Dongla. Tapi kami sepakat memanggilnya Papa. Mengikuti Shabir yang memanggilnya Papa. Jadi memang semacam bisnis keluarga. Mungkin suatu saat nanti saya ingin mengikuti jejak Shabir dan keluarganya. Punya travel agent jadi sewaktu mau jalan-jalan ke suatu negara tidak usah repot cari-cari informasi lagi. Perkenalan dengan Shabir dimulai ketika salah satu teman couchsurfing merekomendasikan namanya ketika saya bertanya soal Kashmir. Tidak berselang lama saya langsung menghubungi Shabir. Lewat whatsapp dulu. Saya banyak bertanya soal perjalanan darat ini kepada Shabir dan kapan waktu terbaiknya. Seperti yang diketahui pada musim dingin (bulan desember-april) salju turun dengan lebatnya otomatis akses jalan dari Srinagar menuju Leh ditutup. Informasi tentang status terkini jalan dari dan menuju Leh bisa dilihat disini ya. Rencana awal mengunjungi Gulmarg dan naik gondola (dipercaya sebagai yang tertinggi di dunia) pun harus batal karena pada saat kami kesana sedang ada beberapa perbaikan. Another setbacks when travelling I guess.



Di depan restoran milik Shabir



Akbar dan Papa Aslam



Kembali ke jalanan Srinagar-Leh, tidak terasa kami sudah mau sampai di kota Leh. Jarak Alchi ke Leh sudah tidak jauh sebenarnya. Kurang lebih 70 km. Sebelumnya kami berhenti di Magnetic Hill untuk ambil foto dan minum teh. Tempat yang dipercaya mempunyai daya magnet dan bisa membuat kendaraan bermotor bisa tetap berjalan tanpa harus menginjak gas. Saya awalnya agak skeptis tapi begitu Shabir memperlihatkan kepada saya (dia tidak menginjak pedal gas dan mobil tetap berjalan) baru saya percaya. Tidak jauh dari Magnetic Hill kami berhenti karena Akbar melihat pemandangan bagus. Di sepanjang jalan Srinagar-Leh ada sangat banyak viewing point dimana pengendara bisa berhenti dan mengambil foto. Ada beberapa orang yang sudah sampai disana dan dari kejauhan terlihat sedang asyik ngobrol. Semakin kami mendekat suaranya semakin keras dan ternyata mereka dari Indonesia. Kaget campur senang, saya dan Akbar bergegas turun dari mobil untuk menyapa. Tidak pernah disangka sebelumnya rombongan tersebut terdiri dari Jebraw, Naya dan teman-temannya. Jalan-Jalan Man goes to Kashmir. Pertamanya, kami pernah bertemu dengan mereka di Bandara Internasional Indira Gandhi untuk antre visa. Kami pun tertawa kencang karena kesempatan bertemu di tengah jalan menuju Leh tanpa janjian terlebih dahulu sangat langka terjadi. Kami pun foto bersama dan bercerita soal itinerary masing-masing.  Mereka sudah lebih dulu sampai di Leh, hendak pergi ke Lamayuru. Datang dari arah sebaliknya, kami akan pergi menuju arah Jebraw Cs datang. Setelah berpamitan dan bertukar nomor handphone kami pun pergi ke arah berlawanan. Mereka bilang akan kembali Leh setelah menginap semalam di Lamayuru dan mengajak kami makan malam. Pasti sudah tau kan jawaban saya dan Akbar? Kapan lagi artis ngajak makan bareng. (berharap ditraktir juga). Namun, saya masih menyangsikan makan malam bersama tadi mengingat kami tidak punya akses internet untuk menghubungi dan/atau dihubungi mereka. Satu-satunya harapan datang dari wi-fi gratis hotel. Let’s see what we can do.


Pemandangan menuju Magnetic Hill


Magnetic Hill


Kami dan rombongan Jebraw

  
Viewing point tempat kami bertemu rombongan Jebraw


Royal Enfield. Banyak dipilih turis di Leh
karena biaya yang lebih murah daripada taksi atau sewa mobil


Sebelum Leh


Pukul 2 tepat kami sampai di kota Leh. Tidak jauh berbeda dengan Srinagar kecuali tidak ada tentara-tentara yang berjaga yang saya lihat selama di Leh. Kalaupun ada jumlahnya tidak sebanyak di Srinagar. Kami langsung diantar ke hotel milik teman Shabir di Leh. Dorjay namanya. Ia adalah pemilik hotel Silver Line. Selagi Akbar mengurus check in untuk kami berdua, saya mengambil tas kami yang ada di mobil Shabir. Mengantar sampai pintu depan kamar kami, Shabir kemudian  pamit pulang. Sedih harus berpisah dari Shabir yang sudah sangat baik selama ini, saya mengambil stiker dari dalam tas. Stiker Gunung Kerinci yang saya dapat setelah mendakinya sampai puncak tahun 2014 lalu saya berikan kepada Shabir untuk ia simpan agar tetap ingat kepada saya dan Akbar (to be honest saya tidak pernah se-mellow ini). Kami pun memeluk Shabir dan mengucapkan banyak terima kasih.


Monumen yang menyambut kami di Leh


Sore itu, kami keluar hotel untuk pergi ke tourism center untuk mencari informasi bagaimana cara pergi ke Pangong Lake dan Tso Moriri. Tujuan utama kami. Kendaraan berupa taxi dan shared jeep bisa mengantar kami ke dua tempat tersebut. Namun harganya cukup mahal dan kami hanya berdua otomatis biaya kami bagi dua secara rata. Ha itu membuat kami berpikir lagi. Menjadi sangat sulit untuk berpikir disaat perut kosong. Jadi kami memutuskan mencari tempat makan yang menyediakan wi-fi tentunya. Makanan nomor dua. Setelah debat cukup panjang, ditambah browsing singkat, saya dan Akbar memilih ikut tour. Kami harus pintar mencari tour dengan tanggal yang sesuai dengan jadwal kami mengingat kami telah memesan hotel secara online sebelumnya. Sampai maghrib kami masih berada di tengah bazaar untuk mencari tour yang sesuai jadwal kami. Mulai panik, kami pun bergegas menuju tour yang satu dan lainnya. Sampai dimana kami melihat papan putih  pengumuman yag isinya mencari dua orang untuk perjalanan ke Turtuk dan Diskit/Hunder. Teriak kepada Akbar “Nah ini buat kita”. Akbar tidak merespon dan lebih memilih langsung masuk ke kantor tempat papan pengumuman tadi berada. Akbar berkata kepada salah satu staf disana “Jullay, is that still available?”. Menunjuk perjalanan ke Turtuk dan Diskit/Hunder. Senang bukan main ketika tahu ternyata perjalanan tersebut masih tersedia dan berangkat besok pagi dari Leh. Kesang, staf yang menerima kami, menambahkan ia akan mengurus permit kami sebelumnya. Untuk pergi ke Leh tidak diperlukan permit. Permit dibutuhkan ketika turis ingin mengunjungi area-area di sekitar Leh seperti Khardung La, Pangong, Tso Moriri, termasuk Turtuk. Untuk yang terakhir saya belum ada bayangan seperti apa, tapi Kesang meyakinkan kami bahwa Turtuk sangat indah dan harus dikunjungi selama kami ada di Leh. Permit cukup mudah didapat karena banyak hotel dan tour yang bisa membantu kalian membuatkannya. Mereka hanya perlu paspor asli yang akan dibawa ke Office of The District Magistrate yang berada di dekat terminal Leh. Perlu diingat kantor tutup jam 2 jadi pelayanan tutup di atas jam tersebut.


Makan siang (atau sore?) di Dreamland Restaurant, Leh. Maknyuss


Setelah mengisi semacam form pendaftaran, kami meninggalkan Ancient Track, kantor tempat Kesang bekerja. Kesang berjanji akan segera menghubungi kami begitu permit selesai dibuat. Kami pun berpamitan dan keluar dengan hati yang tenang. Lega rasanya. Langkah terasa ringan kembali menuju hotel. Dan tidak sabar apa yang perjalanan darat menuju Turtuk dan Diskit/Hunder akan tawarkan kepada kami. TBC


Rooftop hotel Silver Line



Saturday, March 3, 2018

Jalan - Jalan di Ambon part 2 : Antara Liang dan Pintu Kota

Kembali ke pulau Ambon dengan bekal roti yang dibungkus dari Ora Beach Resort, kami pun menuju pelabuhan Amahai kembali. Sebelum naik kapal kami mampir di rumah makan padang untuk beli makan siang untk dibawa ke kapal, roti ludes dimakan di jalan. Tidak yakin ada penjual makanan dan kalaupun ada pasti harganya lebih mahal. Tidak mau ambil risiko.

Sampai di pelabuhan Tulehu kami dijemput driver dari OBS yang ada di ambon. Sudah sore jam 3 waktu setempat jadi kami putuskan untuk langsung ke hotel yang telah kami pesan sebelumnya. Kami menginap di Hotel Amaris dua malam ke depan. Ada yang unik begitu kami masuk ke dalam kamar. Di atas meja sudah disiapkan aneka buah melon dan semangka. Setelah saya tanyakan ternyata itu adalah hidangan yang khusus disediakan untuk kami dengan status pengantin baru. Pada saat pemesanan saya memang memasukkan special request dan dengan setengah percaya hotel  bintang 2 itu memberikannnya berupa buah. Nilai plus sendiri buat saya.

Selesai mandi dan sholat, kami pun keluar hotel untuk mencari makan malam. Banyak teman yang menganjurkan saya untuk mencoba nasi kuning. Dan kebanyakan bilang rumah makan nasi kuning Bu Nanik salah satu yang terbaik di Ambon. Lokasinya berdekatan dengan Masjid Al- Fatah. Persis di sebelahnya. Jadi di kota Ambon sangat banyak penjual nasi kuning. Ibarat warung tenda pecel ayam di pulau Jawa. Jadi tidak susah untuk mencarinya. Saat itu saya pesan cakalang dan Dita pesan udang, makanan favoritnya. Buat saya yang pecinta kuliner rasa ikannya khas begitu meresap ditambah taburan srundeng yang bikin rasanya jadi tambah lezat. Untuk harga tidak begitu mahal, cukup mengeluarkan 50 ribu untuk dua porsi ditambah minuman yang kami pesan. Jarak ke hotel tidak begitu jauh sebenarnya tapi karena kami masih lelah pulang dari Ora kami pun naik becak pulang ke hotel. 12 ribu saja.

Setelah cukup istirahat, besok paginya kami bertemu dengan Pak Ucu, pemilik mobil yang akan kami sewa selama di Ambon. Dia sudah menunggu di basement hotel. Orangnya baik dan memberi kami saran bagaimana cara terbaik untuk explore Ambon selama sehari. Katanya Ambon itu kecil jadi sehari saja cukup untuk keliling Ambon. Setelah memberikan kunci mobil, Pak Ucu pamit pergi karena masih ada urusan. Kami pun bergegas meninggalkan hotel untuk pergi mengunjungi Pantai Liang, tujuan pertama kami. Cukup bersih dan sepi (karena waktu kami kesana hari kerja hanya ada satu atau dua mobil yang parkir). Sambil menunggu waktu makan siang saya mengambil foto secukupnya, Dita main ke dermaga kecil di tengah - tengah pantai. Dipanggil, saya pun menyusul ke dermaga. Ternyata pemandangan lebih indah disini. Perpaduan biru air dan bukit di seberang pantai menjadi pasangan sempurna untuk diabadikan dalam sebuah foto. Setelah itu kami kembali ke pinggir pantai untuk makan pop mie yang telah kami beli sebelumnya. Tinggal beli air panas di warung yang ada disana.


Dita dan Pantai Liang


Dermaga


Bapak penyewa kapal yang mau mengantar pengunjung

Selesai makan kami melanjtukan ke perjalanan ke Waai. Konon disini tinggal belut raksasa (Morella Eels) yang dipercaya warga setempat jelmaan dari raja dan ratu. Belutnya tinggal di kolam agak besar yang dijadikan tempat bermain anak-anak sekaligus tempat untuk mencuci pakaian warga. Sempat ragu, kami pun akhirnya memutuskan untuk bertanya seorang remaja disana. Rupanya dia adalah pawang belut dan bisa membawa keluar belut dari tempat persembunyiannya. Beli umpan berupa telur dan bayar retribusi masuk (walaupun belum resmi hanya dikelola ibu paruh baya), we're off to eels hunting. (eh tapi bukan untuk dimakan ya)



Eels hunting


Morella Eels

Dari Waai kami pulang ke arah kota. Melewati Pantai Natsepa kami berhenti sebentar untuk melihat pemandangan dan makan rujak Natsepa yang sudah sangat terkenal. salah satu yang wajib dicoba ketika di Ambon selain nasi kuning. Hampir sama dengan rujak buah pada umumnya kecuali bumbunya yang sarat kacang dan porsi melebihi buanya sendiri. Sangat segar pecinta buah dan rujak harus coba.



Rujak Natsepa 

Setelah ngerujak kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami ingin mengunjungi pantai (lagi). Pantai Pintu Kota yang terletak di sebelah utara kota Ambon nisa ditempuh selama 45 menit dari pusat kota. Hanya sebentar saja kami disana karena tidak terasa malam hampir tiba dan kami harus sampai di kota sebelum larut malam. Besok siang kami sudah pulang ke Jakarta. Berfoto dan minum es kelapa muda sambil menikmati matahari terbenam adalah aktivitas yang biasa dilakukan pengunjung. Kami pun memesan es kelapa. Ah segarnyaa!


Pantai Pintu Kota


Saya 


Tidak terasa senja pun tiba, kami kembali ke kota dan mampir ke toko oleh-oleh untuk membeli bagea dan minyak kayu putih khas ambon sebelum samapi di hotel. See you again, Ambon!


Travel Notes:
1. No Hp Pak Ucu: 081343004495
2.Pantai Liang
        Biaya masuk per mobil 2 orang 13.000
        Air panas 2 @5.000
3. Morella Weels Waai
        Pawang 30.000
        Parkir 10.000
         Telur 2 @ 5.000
4.Rujak Natsepa per porsi 15.000
5. Pantai Pintu Kota 
        Biaya masuk per orang 2.000
        Mobil 10.000 
        Es kelapa 15.000
  ( per tanggal 1 Februari 2018)