Friday, January 12, 2018

Ladakhi road trip (1) : Srinagar, Kargil dan Alchi

Pagi itu terasa cukup sejuk dan kami mengawali hari dengan sarapan di sebuah warung makan tidak jauh dari Dal Lake. Saya rasa tempat ini milik teman Shabeer karena dia terlihat akrab pada saat memesan menu sarapan yg akan kami pilih. Tidak banyak hanya segelas teh susu hangat dan sepiring bawang goreng yg bagaimana caranya bisa enak mungkin karena kami sedang lapar, beda sama yg di Indonesia (setelah googling baru saya tau namanya pakoda). Tidak lupa Akbar beli buah-buahan untuk bekal di perjalanan. He looked more prepared in this road trip than me.

Awali hari dengan sepiring pakoda

Termasuk dalam salah satu jalur darat terbaik versi Lonely Planet yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Epic Drives of The World (2017), kami pun semakin excited untuk memulai perjalanan ini. Selain itu alasan pemandangan yang bisa leluasa dilihat selama perjalanan membuat kami memilih jalur darat dari Srinagar menuju Leh. Rute pesawat sendiri banyak dipilih dari Srinagar atau New Delhi bagi mereka yang punya waktu sempit dan tidak kuat perjalanan darat dalam waktu yang lama. Maklum saja Srinagar - Leh mencakup 434 km dan sangat disarankan untuk berhenti istirahat semalam atau 2 malam. Kebanyakan orang transit semalam di Kargil kemudian melanjutkan perjalanannya. Tapi saya dan Akbar memilih untuk membuat 1 transit tambahan yaitu Alchi.


Papan hijau penunjuk jalan


 Di sepanjang jalan kami menikmati pemandangan pegunungan Himalaya sambil sesekali berhenti untuk mengambil foto. Untungnya Shabeer sangat sabar dalam hal ini. Sekitar jam 4 sore waktu setempat kami sampai di Kargil. Cukup ramai untuk sebuah kota transit, Kargil dulunya merupakan salah satu kota yang dilalui Jalur Sutera di India. Segera kami mencari homestay yang sudah dipesan sebelumnya. Setelah ketemu ternyata lokasinya agak jauh dari pusat kota dan jalan menuju Leh. Akhirnya kami pun mencari hostel lain dan memilih Hotel Siachen. Check in setelahi tu kami pun pembersihan. Selesai solat maghrib, kami keluar mencari makan. Kebetulan lokasi hotel sangat dekat dengan pasar. Cukup jalan kaki. Mencoba beberapa makanan khas disini seperti, momos (sejenis dimsum), thukpas (mie rebus ditambah kacang polong), dan apricot. Oh iya ada satu lagi yang khas disini. Setiap pemilik lapak menyediakan botol air minum besar dan pembeli bisa meminum langsung dari botol tersebut. Pengalaman baru yg menarik sampai sampai saya dan Akbar sengaja membeli makanan yang padahal kami tidak suka hanya karena minum dari botol haha. Puas mencoba kuliner Kargil kami pulang ke hotel dan istirahat. Besok pagi harus melanjutkan perjalanan menuju Alchi.


Pemandangan di jalan menuju Kargil


Murid sekolah ganteng yang bukan anggota GGS


Pukul 7 pagi tepat kami bersiap untuk check out. Sebelumnya kami cari sarapan di dekat hotel dan pergi ke Museum Munshi Aziz Bhat. Disini banyak terdapat artefak dari jaman dulu ketika Kargil dilalui Jalur Sutera. Mulai dari pakaian, mata uang, sampai botol minuman berakohol pada saat itu. Even menjadi tempat yang sering didatangi turis yang singgah di Kargil, tidak banyak yang bisa dilihat kecuali barang antik. Kalau kamu menyukai pergi ke museum pasti akan betah lama lama disini. Kembali ke jalan menuju Alchi.

Papan di depan pintu masuk museum

Pakaian tradisional

Pakaian Tradisional #2



Sebelum Alchi, banyak sekali view zone yang indah dan sayang untuk dilewatkan. Jarak tempuh sekitar 170 km yang seharusnya bisa ditempuh 3-4 jam harus mundur menjadi 6 jam. Mulai dari Kargil - Mulbekh - Namki La- Bud Kharboo - Heniskot - Fotula - Lamayuru - Moonland - Khaltse - Nimla - Hemischu - Uleytopo - Alchi. Sampai di Alchi menjelang petang dan kami langsung menuju homestay yang telah kami pesan sebelumnya, Lharjey Homestay. Tempatnya sangat nyaman dan terpencil membuat kami tidak percaya ada penginapan disni. Alchi sendiri tidak berhenti membuat kami terpukau. Mulai dari jalan masuk seperti gurun pasir berbukit menyeberangi jembatan yang dipenuhi prayer flags. Serene and peaceful, kesan pertama yang saya tangkap begitu berada di Alchi.

Foto di sebelah papan. Taken by Akbar


Moonland

 Lharjey yang diurus oleh keluarga Sonam dan dua anaknya, Mentok (12) dan Ridzin (9) seperti oase di padang pasir bagi saya dan Akbar. Kami yang sudah kelelahan ditambah harus aklimatisasi membuat kami merasa agak pusing dan mual. Sonam dengan baik hati menjamu kami seraya berkata, "Do you need hot water for taking a bath?" tanpa basa basi kami jawab "yes, we do". "Okay I'll make each one of you a pail of hot water and make a dinner for you". Ah pertanyaan kami terjawab. Selama di mobil kami memikirkan bagaimana cari makan malam di tempat terpencil seperti Alchi. Jangankan rumah makan, toko atau warung saja hampir tidak terlihat selama perjalanan. Warga disini memnag terkenal dengan organic farming dimana bahan makanan berasal dari kebun mereka sendiri. Tentu saja itu memberi nilai tambah karena kebersihan dan kesehatan makanan sudah pasti terjamin.


Tempat tidur di Lharjey Homestay

Pagi di Alchi (depan Lharjey Homestay)
Malam itu kami tidur cepat setelah menyantap makan malam yang disediakan Sonam. Akbar merasa tidak enak badan dan sedikit demam. Maklum perjalanan panjang membuat tubuh kami lelah dan pastinya pengaruh perubahan ketinggian yang drastis. Bayangkan bagaimana jadinya kalau ambil flight dari New Delhi atau Srinagar langsung ke Leh? Tentunya perlu beberapa hari untuk aklimatisasi agar terhindar dari AMS (Acute Mountain Sickness). Setelah mengajarkan beberapa kata dalam bahasa indonesia kepada Mentok dan Ridzin kami pun berpamitan untuk istirahat.

Hari ke 4 di Ladakh badan terasa sudah mulai cukup menyesuaikan dengan ketinggian. Beda pertama kali sampai di Srinagar. Pusing dan sedikit mual. Begitu pula Akbar yang sudah mulai baikan malam sebelumnya minum obat dan selembar Tolak Angin. Pagi pertama (dan terakhir) di Alchi kami jalan-jalan melihat pemandangan dan Alchi Monastery atau dikenal juga Alchi Gompa. Konon katanya bangunan ini merupakan yang tertua dan paling terkenal di Ladakh. Monasteri terdiri dari 3 bangunan utama, yaitu Dukhang (ruang pertemuan), Sumtsek, dan Kuil Manjushri. Semuanya diperkirakan berasal dari abad ke 13 dan 14. Chorten juga merupakan bangunan penting di kompleks monasteri. Bentuknya seperti buah bengkoang, berwarna putih, tinggi 2-3 meter dan banyak ditemui sepanjang jalan di Ladakh. Begitu sampai di pintu masuk loket belum buka dan kami hanya bertemu seorang paruh baya yang sedang membersihkan salah satu bangunan di sekitar kompleks. Dia bilang monasteri baru buka jam 9. Jam saya menunjukkan pukul 8. Ide saya untuk mencoba jalan belakang membuahkan hasil. Benar saja ternyata pemandangan lebih dengan sungai Indus yang mengalir deras. Pelajaran penting jika kamu terbentur karena suatu hambatan di suatu jalan coba jalan lain maka usaha mu tidak akan sia-sia. The Art of Travel #56.

Pintu Belakang Alchi Monastery

Salah satu Chorten di kompleks Alchi Monastey

Puas mengelilingi kompleks monasteri kami pun pulang ke homestay tempat kami meninap. Ternyata Sonam sudah menyiapkan sarapan dan seember air panas untuk mandi. Kami pun bergegas menyantap sarapan agar bisa packing. Shabeer janji untuk menjemput jam 9 setelah bertemu dengan teman lama di Uleytopo, sebelum Alchi dan setelah Nimla. Baru sebentar saja tinggal di rumah Sonam kami sudah merasa nyaman dan ingin tinggal lebih lama lagi. Bermain dengan Mentok yang kritis dan Ridzin yang agak pendiam membuat kami merasa bagian dari keluarga. Sedih rasanya meninggalkan mereka tapi perjalanan harus kami lanjutkan karena tujuan kami adalah Leh. Selesai mandi ternyata Shabeer sudah menunggu di ruang tamu. "Morning, how was your sleep? sapa Shabeer. Saya menjawab "never better". Perasaan sedih terasa ketika harus berpamitan dengan Sonam .Yang sudah begitu baik menerima kami dan tidak menganggap kami sebagai orang asing. Mereka menerima kami layaknya sodara jauh yang sedang berkunjung di musim liburan. Sampai bertemu lagi Sonam, Mentok, dan Ridzin. TBC