Semarang, yang merupakan ibu kota
dari Jawa Tengah, membuat saya bertanya-tanya ”mau kemana kalau nanti sudah
sampai di Semarang?”. Itu karena bayangan saya atas kota ini hanyalah sebatas
makanan khasnya seperti bandeng presto dan lumpia. Teringat mempunyai teman yang berada di Kota
Semarang, saya langsung menghubunginya. Namanya Prima, mahasiswa tingkat akhir
Universitas Diponegoro jurusan Teknik Perkapalan. Saya bermaksud untuk meminta
bantuannya mengajak saya berkeliling di kota dengan populasi terbesar ke-9 di
Indonesia itu (peringkat pertama ditempati Jakarta). Ternyata saya datang di waktu yang
kurang tepat karena Prima saat itu sedang berusaha menyelesaikan Tugas Akhirnya.
Namun, dengan baik hati ia menerima permintaan saya untuk mengantar saya
berkeliling di Semarang. Bahkan, ia menawarkan kamarnya untuk saya tempati
selama berada di Semarang. Betapa beruntungnya saya. Prima baru saja memutuskan
berhenti untuk mengontrak sebuah rumah dan lebih memilih indekos. Kamar yang ditinggalinya sekarang tergolong relatif kecil untuk ukuran kamar mahasiwa
pada umumnya. Di bagian sudut kamar, terlihat tumpukan kertas yang digunakannya
untuk menggambar rancangan kapal. Jendela kamarnya dibiarkan sedikit terbuka
karena menurut Prima di siang hari Semarang terasa begitu panas menyengat. Sesampainya
saya di kamarnya, hari telah berganti gelap dan saya pun langsung meminta izin
kepadanya untuk membaringkan badan ini yang masih terasa bergoyang setelah
berada di kapal laut selama kurang lebih 6 jam.
Sejuknya pagi hari di kota ini,
diikuti dengan embun yang turun, membuat saya berat untuk beranjak dari posisi
tidur saya. Tetapi mengingat waktu saya selama disini tidak banyak, saya
memutuskan untuk bangkit dari tempat saya berbaring dan bersiap-siap untuk
berkeliling kota Semarang, yang tentunya ditemani oleh Prima. Saya mengajaknya untuk pergi
mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang terkenal dengan kemegahannya
itu. Mengingat hari itu hari Jumat, kami sekaligus melaksanakan ibadah shalat
Jumat. Menurut Prima, orang Semarang biasa membagi Semarang menjadi dua bagian,
yaitu daerah atas dan daerah bawah. Daerah atas mencakup Kecamatan Banyumanik
tempat dimana Prima tinggal. Sementara, MAJT terletak di Kecamatan Gayamsari
yang berada di daerah bawah. Perjalanan menuju MAJT melewati jalan yang
menanjak dan turunan tajam. Sesekali motor Prima dipaksa untuk menanjak jalan,
saya yang duduk dibelakangnya pun bertanya kepadanya “Tidak apa-apa, Prim?” Dia
pun menjawab dengan santai “Tidak apa-apa, San. Sudah biasa.” Golongan
mahasiswa seperti Prima yang kuliah di "atas" memang sudah biasa melakukan
perjalanan seperti ini. Untuk menonton film di bioskop saja, ia harus “turun ke bawah”
terlebih dahulu. Menurut penuturannya, hanya ada tiga tempat pemutaran film di
bioskop Semarang, yang paling terkenal dan terbaru ialah XXI di Paragon Mall.
Sebenarnya ada juga beberapa universitas yang berada di daerah bawah, seperti
Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dan Universitas Diponegoro (UNDIP) Pasca
Sarjana. Berangkat pukul 10.30, kami pun akhirnya tiba di MAJT pukul 11.10.
Saya mengamati di daerah bawah lebih ramai orang yang berlalu-lalang di jalan.
Kendaran bermotor pun memiliki kuantitas yang lebih banyak dibandingkan di
daerah atas. Sambil menunggu waktu adzan
shalat Jumat, saya pun menyempatkan untuk mengambil beberapa foto dari Masjid
yang diresmikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tangal 14
November 2006 silam ini.
Masjid Agung Jawa Tengah |
Pilar |
Selesai menunaikan
kewajiban shalat Jumat, kami pun bergegas pergi mencari makan untuk santap siang.
Saya berniat untuk mencicipi lunpia sebagai menu makan siang, namun Prima
mengusulkan agar kami memakan nasi terlebih dahulu. Ada beberapa lunpia yang
terkenal di kota Semarang, diantaranya Lunpia Express, Lunpia Mataram, dan
Lunpia Mbak Lien. Saya memutuskan untuk mencoba yang terakhir. Terletak di Jl.
Pemuda Grajen, Lunpia Mbak Lien hanya terdiri dari warung kecil dan gerobak
tempat menggoreng lunpia. Anda dapat menjadikan Mall Sri Ratu sebagai patokan;
lunpia Mbak Lien tidak jauh berada di seberangnya. Pembeli pun bisa memilih
lunpia yang dipesannya, basah atau kering (digoreng terlebih dahulu). Pembeli
yang ingin membawa lunpia sebagai oleh-oleh biasanya lebih memilih lunpia basah
yang bisa digoreng pada saat tiba di rumah. Lunpia Mbak Lien ini memiliki
cabang di Jl. Pandanaran (pusat oleh-oleh), tepatnya di depan Bandeng Juwana
No. 57. Lunpia Mbak Lien ini dijual dengan harga Rp 10.000,- perbuahnya.
Lunpia Mbak Lien |
Puas dengan Lunpia Mbak Lien,
kami pun kembali turun ke jalan untuk menikmati senja di Kota Semarang. Namun,
cuaca pda saat itu seakan tidak mendukung saya dan Prima untuk melanjutkan perjalanan.
Hujan rintik-rintik mulai jatuh membasahi jalan dan kami pun terpaksa mencari
tempat berteduh. Setelah menunggu sampai hujan agak reda, kami pun meneruskan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah the mystical one, Lawang Sewu. Saya dan
Prima memang sengaja untuk mengunjungi tempat ini di malam hari agar kesan seram
dapat terasa saat mengelilingi Lawang Sewu. Kami pun berhasil untuk menambah
personil kami menjadi empat orang, teman saya Agy dan Giovanni berhasil saya
bujuk untuk ikut dengan kami. Sebelum berangkat menuju Lawang Sewu, kami
berempat menyempatkan untuk makan malam terlebih dahulu di sebuah restoran
cepat saji bernama Olive Fried Chicken. Saya memesan paket ayam dengan minum
teh manis dengan total Rp 9.000,-. Di tempat makan ini pula saya bertemu dengan
teman saya, Rizky. Secara kebetulan ia juga sedang berlibur di Semarang selepas
wisuda. Betapa kecilnya dunia ini, baru seminggu yang lalu saya bertemu
dengannya yang sedang jogging di
alun-alun Kota Tangerang dan pada kesempatan berikutnya kami bertemu lagi di
Semarang, di sebuah restoran cepat saji bernama Olive Fried Chicken. Setelah
selesai makan malam yang dibumbui nostalgia (dulunya kami berempat duduk di SMA
yang sama), kami pun larut dalam obrolan tentang kenakalan semasa sekolah dulu.
Saya dan mereka bertiga memang berteman cukup baik pada saat itu. Agy dan prima adalah
teman saya bermain futsal. Sedangkan saya dan Giovanni sempat berbagi meja ketika
kami berada di kelas XII. Puas bercerita, kami pun melanjutkan perjalanan
menuju Lawang Sewu. Naas bagi kami, baru saja mencapai setengah perjalanan, hujan
kembali turun. Mau tidak mau kami terpaksa mengentikan perjalanan dan berteduh
di toko swalayan terdekat. Agak lama kami menunggu disana (waktu menunjukkan
pukul 22.00), hujan pun berkurang intensitasnya (belum berhenti benar sebenarnya).
Tetapi kami memilih untuk meneruskan perjalan karena khawatir Lawang Sewu akan
ditutup. Benar saja, sesampainya disana, gerbang depan telah ditutup. Kami pun
berdiskusi untuk menentukan langkah apa yang akan diambil selanjutnya.
Disela-sela diskusi tersebut, tiba-tiba seseorang mengampiri kami dan bertanya
“mau ke Lawang Sewu ya, mas?”. Belakangan kami ketahui bahwa orang tersebut
ialah penjaga di Lawang Sewu bernama Pak Edi. Kebetulan Pak Edi mendapat tugas
jaga malam dan tugasnya baru berakhir jam 6 pagi. Saya bercerita kepadanya
bahwa maksud kedatangan kami adalah untuk mengunjungi Lawang Sewu, namun di tengah perjalanan menuju kesini hujan kencang turun. Pak Edi pun
mengerti dan akhirnya bersedia untuk menemani kami berkeliling Lawang Sewu.
Sebelumnya, kami harus membayar tiket masuk sebesar Rp. 10.000,- untuk
masing-masing orang ditambah biaya untuk Pak Edi sebagai pemandu kami sebesar
Rp 30.000,-. Setelah masalah biaya selesai, Pak Edi pun langsung mengajak kami
untuk berkeliling diiringi dengan kisah-kisahnya tentang Lawang Sewu di zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Let's rock and roll.
Berfoto di Lawang Sewu |