Merupakan salah satu kabupaten
dari total 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, hal yang pertama kali
muncul dalam benak saya adalah tersebarnya berbagai macam seni ukiran dan pahat
di seluruh kota ini, mengingat seni ukuran adalah produk unggulan dari kota
ini. Yang saya lihat tidak jauh berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelum
tiba di kota ini, hanya saja seni ukiran tersebut dipajang secara rapi di
rumah-rumah warga yang mengusung industri rumahan. Rapi dan tenang adalah
kesan yang pertama saya dapatkan dari kota ini. Beberapa industri rumahan
tersusun rapi di sepanjang jalan Kudus-Jepara. Ibukota Kabupaten Jepara ialah
Jepara dan tidak banyak angkutan umum yang beroperasi di kota ini. Selain itu,
yang saya ketahui dari kota ini ialah kota lahirnya pejuang emansipasi wanita
Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Itu sebabnya kota ini sering disebut sebagai
Bumi Kartini. Nama R.A. Kartini juga diabadikan sebagai nama
pelabuhan di Jepara.
Berangkat dari Bandung, saya
menuju Jepara dengan menggunakan bus malam. Tarifnya cukup murah dan busnya
pun nyaman. Anda hanya perlu menghabiskan Rp 89.000,- saja untuk bus ini dan Anda akan diturunkan di Terminal Jepara sebagai pemberhentian terakhir. Anda pun bisa memesan tiket bus ini secara online disini. Sesampainya saya di
Terminal Jepara, waktu menunjukkan pukul 06.30, saya bergegas menuju toilet
umum terdekat untuk membersihkan muka dan badan. Setelah itu saya berkeliling
di areal terminal untuk mencari sarapan. Pilihan jatuh ke lontong opor Bu
Choiriah. Terletak di belakang terminal yang berbatasan dengan pasar, warung Bu
Choiriah cukup ramai dipadati oleh pembeli yang antre di depan warung tersebut.
Alhasil, butuh waktu sedikit lama bagi saya menunggu pesanan saya diantarkan.
Setelah badan bersih dan perut sudah diisi, inilah waktu yang tepat untuk
berbaring dan memejamkan mata di kota yang juga dikenal sebagai The Beauty of
Java ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi saya. Ya, saya harus menunggu kelima
teman saya yang lainnya terlebih dahulu. Dikarenakan berasal dari starting point
yang berbeda-beda, saya dan teman sepakat untuk menjadikan Jepara sebagai
meeting point sebelum menyeberang ke kepulauan Karimunjawa. Mereka berasal dari
Magelang, Boyolali dan Jakarta dan saya sendiri dari Bandung. Saya memperkirakan mereka baru akan sampai di
Terminal Jepara paling lambat jam 2 siang.
Bus malam Bandung-Jepara |
Kadung tiba di Jepara, saya
memutuskan untuk berkeliling sambil menunggu teman saya yang sedang dalam
perjalanan menuju Jepara. Untungnya saya telah menyiapkan situasi ini dengan
cara mencari tempat-tempat wisata yang berada di Jepara sewaktu perjalanan malam hari di
bus. Setelah menunggu beberapa saat, datanglah angkutan umum yang akan
mengantar saya ke Mantingan, destinasi yang saya putuskan untuk dikunjungi. Di Mantingan inilah tempat dimana Makam Kalinyamat berada. Kalinyamat
adalah seorang ratu dengan nama asli Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono
yang merupakan Raja Demak (1521-1546). Perjalanan menuju Makam membutuhkan
waktu kurang lebih setengah jam. Saya pikir bisa lebih cepat daripada itu
andaikata pengemudi angkutan umum K03 berwarna cokelat tersebut tidak berhenti
di setiap gang jalan untuk mengangkut penumpang. Tetapi saya berusaha untuk
menikmati waktu ketika berada di dalam angkutan umum tersebut. Untung saja saya
dapat duduk di samping sang supir sehingga saya bisa berbincang-bincang
dengannya. Berdasarkan penuturannya, beliau pernah bekerja di rumah pemotongan
hewan di daerah Pondok Bambu selama 2 tahun sebelum pindah ke Jepara. Dari
beliau pula, saya mengetahui masakan khas Jepara yang katanya terkenal sampai ke
mancanegara. Masakan tersebut ialah Pindang Serani.
Setibanya di Makam Kalinyamat, saya langsung mencari loket
yang menjual tiket masuk. Usaha saya tidak membuahkan hasil. Baru saya tahu
ternyata untuk masuk ke dalam Makam tidak perlu membeli tiket masuk. Saya
melihat banyak peziarah yang membawa anak dan sanak saudaranya untuk
mengunjungi Makam Kalinyamat. Bahkan ada diantara mereka yang berasal dari luar Jepara yang
rela datang ke Makam tersebut, seperti dari Demak, Kudus, dan Solo. Kebanyakan
dari mereka datang untuk berdoa agar anaknya (yang turut serta dibawa) diberi
kesehatan dan kecerdasan, tidak sedikit juga yang meminta agar dimudahkan
rezekinya.
Tangga menuju Makam Kalinyamat |
Selain Makam Kalinyamat, di kompleks pemakaman ini terdapat juga Makam R. Abdul
Djalil. Beliau merupakan Sunan Jepara sekaligus seorang sufi penyebar agama
Islam di Pulau Jawa. Disebut-sebut memiliki nama lain Syekh Siti Jenar, ajarannya
yang paling terkenal adalah Manunggaling Kawula Gusti yang memilik arti Sang
Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Makam Syekh Siti Jenar terletak
sebelah kiri Makam Ratu Kalinyamat. Di bagian kanan areal pemakaman terdapat
pula Masjid Astana Sultan Hadlirin atau dikenal juga dengan Masjid Mantingan.
Masjid Mantingan |
Tak terasa waktu berjalan, matahari pun memancarkan sinar
terangnnya dan sengatan panasnya terasa sampai ke dalam kepala saya. Saya pun
mencari tempat teduh di sekitar makam dan mengeluarkan botol air minum untuk
meneguk beberapa tetes air. Sembari berteduh, saya bertanya-tanya dalam hati
mengapa peziarah-peziarah tersebut rela datang dari luar Jepara hanya untuk
berdoa di makam ini? Apakah mereka tidak dapat melakukannya di rumah
masing-masing? Atau apakah mereka mempunyai keyakinan bahwa doa mereka akan cepat dikabulkan
apabila dilakukan di tempat ini? Sambil menahan kantuk, pertanyaan itu terus
berputar di kepala saya seperti komedi putar di sebuah wahana bermain anak.
Peziarah |
Sesaat berselang, saya mendapat kabar dari teman saya bahwa
mereka telah sampai di Jepara. Lega mendapat kabar tersebut, saya bergegas
meninggalkan makam Kalinyamat dan kembali ke Terminal Jepara dimana teman saya telah
menunggu. Saya kembali dengan angkutan umum dan kecepatan yang sama, pengemudi yang berbeda.
No comments:
Post a Comment