Monday, May 27, 2013

Part One: Jepara





Merupakan salah satu kabupaten dari total 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, hal yang pertama kali muncul dalam benak saya adalah tersebarnya berbagai macam seni ukiran dan pahat di seluruh kota ini, mengingat seni ukuran adalah produk unggulan dari kota ini. Yang saya lihat tidak jauh berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelum tiba di kota ini, hanya saja seni ukiran tersebut dipajang secara rapi di rumah-rumah warga yang mengusung industri rumahan. Rapi dan tenang adalah kesan yang pertama saya dapatkan dari kota ini. Beberapa industri rumahan tersusun rapi di sepanjang jalan Kudus-Jepara. Ibukota Kabupaten Jepara ialah Jepara dan tidak banyak angkutan umum yang beroperasi di kota ini. Selain itu, yang saya ketahui dari kota ini ialah kota lahirnya pejuang emansipasi wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Itu sebabnya kota ini sering disebut sebagai Bumi Kartini. Nama R.A. Kartini juga diabadikan sebagai nama pelabuhan di Jepara.

Berangkat dari Bandung, saya menuju Jepara dengan menggunakan bus malam. Tarifnya cukup murah dan busnya pun nyaman. Anda hanya perlu menghabiskan Rp 89.000,- saja untuk bus ini dan Anda akan diturunkan di Terminal Jepara sebagai pemberhentian terakhir. Anda pun bisa memesan tiket bus ini secara online disini. Sesampainya saya di Terminal Jepara, waktu menunjukkan pukul 06.30, saya bergegas menuju toilet umum terdekat untuk membersihkan muka dan badan. Setelah itu saya berkeliling di areal terminal untuk mencari sarapan. Pilihan jatuh ke lontong opor Bu Choiriah. Terletak di belakang terminal yang berbatasan dengan pasar, warung Bu Choiriah cukup ramai dipadati oleh pembeli yang antre di depan warung tersebut. Alhasil, butuh waktu sedikit lama bagi saya menunggu pesanan saya diantarkan. Setelah badan bersih dan perut sudah diisi, inilah waktu yang tepat untuk berbaring dan memejamkan mata di kota yang juga dikenal sebagai The Beauty of Java ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi saya. Ya, saya harus menunggu kelima teman saya yang lainnya terlebih dahulu. Dikarenakan berasal dari starting point yang berbeda-beda, saya dan teman sepakat untuk menjadikan Jepara sebagai meeting point sebelum menyeberang ke kepulauan Karimunjawa. Mereka berasal dari Magelang, Boyolali dan Jakarta dan saya sendiri dari Bandung. Saya memperkirakan mereka baru akan sampai di Terminal Jepara paling lambat jam 2 siang.



 Bus malam Bandung-Jepara
 

Kadung tiba di Jepara, saya memutuskan untuk berkeliling sambil menunggu teman saya yang sedang dalam perjalanan menuju Jepara. Untungnya saya telah menyiapkan situasi ini dengan cara mencari tempat-tempat wisata yang berada di Jepara sewaktu perjalanan malam hari di bus. Setelah menunggu beberapa saat, datanglah angkutan umum yang akan mengantar saya ke Mantingan, destinasi yang saya putuskan untuk dikunjungi. Di Mantingan inilah tempat dimana Makam Kalinyamat berada. Kalinyamat adalah seorang ratu dengan nama asli Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono yang merupakan Raja Demak (1521-1546). Perjalanan menuju Makam membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Saya pikir bisa lebih cepat daripada itu andaikata pengemudi angkutan umum K03 berwarna cokelat tersebut tidak berhenti di setiap gang jalan untuk mengangkut penumpang. Tetapi saya berusaha untuk menikmati waktu ketika berada di dalam angkutan umum tersebut. Untung saja saya dapat duduk di samping sang supir sehingga saya bisa berbincang-bincang dengannya. Berdasarkan penuturannya, beliau pernah bekerja di rumah pemotongan hewan di daerah Pondok Bambu selama 2 tahun sebelum pindah ke Jepara. Dari beliau pula, saya mengetahui masakan khas Jepara yang katanya terkenal sampai ke mancanegara. Masakan tersebut ialah Pindang Serani.
 
Setibanya di Makam Kalinyamat, saya langsung mencari loket yang menjual tiket masuk. Usaha saya tidak membuahkan hasil. Baru saya tahu ternyata untuk masuk ke dalam Makam tidak perlu membeli tiket masuk. Saya melihat banyak peziarah yang membawa anak dan sanak saudaranya untuk mengunjungi Makam Kalinyamat. Bahkan ada diantara mereka yang berasal dari luar Jepara yang rela datang ke Makam tersebut, seperti dari Demak, Kudus, dan Solo. Kebanyakan dari mereka datang untuk berdoa agar anaknya (yang turut serta dibawa) diberi kesehatan dan kecerdasan, tidak sedikit juga yang meminta agar dimudahkan rezekinya.



Tangga menuju Makam Kalinyamat


Selain Makam Kalinyamat, di kompleks pemakaman ini terdapat juga Makam R. Abdul Djalil. Beliau merupakan Sunan Jepara sekaligus seorang sufi penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Disebut-sebut memiliki nama lain Syekh Siti Jenar, ajarannya yang paling terkenal adalah Manunggaling Kawula Gusti yang memilik arti Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Makam Syekh Siti Jenar terletak sebelah kiri Makam Ratu Kalinyamat. Di bagian kanan areal pemakaman terdapat pula Masjid Astana Sultan Hadlirin atau dikenal juga dengan Masjid Mantingan.



Masjid Mantingan


Tak terasa waktu berjalan, matahari pun memancarkan sinar terangnnya dan sengatan panasnya terasa sampai ke dalam kepala saya. Saya pun mencari tempat teduh di sekitar makam dan mengeluarkan botol air minum untuk meneguk beberapa tetes air. Sembari berteduh, saya bertanya-tanya dalam hati mengapa peziarah-peziarah tersebut rela datang dari luar Jepara hanya untuk berdoa di makam ini? Apakah mereka tidak dapat melakukannya di rumah masing-masing? Atau apakah mereka mempunyai keyakinan bahwa doa mereka akan cepat dikabulkan apabila dilakukan di tempat ini? Sambil menahan kantuk, pertanyaan itu terus berputar di kepala saya seperti komedi putar di sebuah wahana bermain anak.



Peziarah


Sesaat berselang, saya mendapat kabar dari teman saya bahwa mereka telah sampai di Jepara. Lega mendapat kabar tersebut, saya bergegas meninggalkan makam Kalinyamat dan kembali ke Terminal Jepara dimana teman saya telah menunggu. Saya kembali dengan angkutan umum dan kecepatan yang sama, pengemudi yang berbeda.

No comments:

Post a Comment